HUKUM BAYI
TABUNG
DI
S
U
S
U
N
OLEH
:
RIKA HANDAYANI
DOSEN PEMBIMBING : SAPRIL, M. Pd

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)
....................................
2009/2010
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Pengertian Bayi Tabung
Bayi tabung atau dengan kata
lain Inseminasi buatan ialah pembuahan pada hewan atau manusia tanpa melalui
senggama (sexual intercourse). Ada beberapa teknik inseminasi buatan yang telah
dikembangkan dalam dunia kedokteran, antara lain adalah :
Pertama, Fertilazation in Vitro (FIV) dengan cara
mengambil sperma suami dan ovum istri kemudian diproses di vitro (tabung), dan
setelah terjadi pembuahan, lalu ditransfer di rahim istri.
Kedua, Gamet Intra Felopian Tuba (GIFT) dengan
cara mengambil sperma suami dan ovum istri, dan setelah dicampur terjadi pembuahan,
maka segera ditanam di saluran telur (tuba palupi) Teknik kedua ini terlihat
lebih alamiah, sebab sperma hanya bisa membuahi ovum di tuba palupi setelah
terjadi ejakulasi melalui hubungan seksual.
B. Pandangan Islam Tentang Bayi Tabung
Masalah inseminasi buatan ini
menurut pandangan Islam termasuk masalah kontemporer ijtihadiah, karena tidak
terdapat hukumnya secara spesifik di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah bahkan dalam
kajian fiqih klasik sekalipun. Karena itu, kalau masalah ini hendak dikaji menurut
Hukum Islam, maka harus dikaji dengan memakai metode ijtihad yang lazimnya
dipakai oleh para ahli ijtihad (mujtahidin), agar dapat ditemukan hukumnya yang
sesuai dengan prinsip dan jiwa Al-Qur’an dan As-Sunnah yang merupakan sumber
pokok hukum Islam.
Namun, kajian masalah
inseminasi buatan ini seyogyanya menggunakan pendekatan multi disipliner oleh
para ulama dan cendikiawan muslim dari berbagai disiplin ilmu yang relevan,
agar dapat diperoleh kesimpulan hukum yang benar-benar proporsional dan mendasar.
Misalnya ahli kedokteran, peternakan, biologi, hukum, agama dan etika.
Masalah inseminasi buatan ini
sejak tahun 1980-an telah banyak dibicarakan di kalangan Islam, baik di tingkat
Nasional maupun Internasional. Misalnya Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam Muktamarnya
tahun 1980, mengharamkan bayi tabung dengan sperma donor sebagaimana diangkat
oleh Panji Masyarakat edisi nomor 514 tanggal 1 September 1986.
Lembaga Fiqih Islam Organisasi
Konferensi Islam (OKI) dalam sidangnya di Amman tahun 1986 mengharamkan bayi
tabung dengan sperma donor atau ovum, dan membolehkan pembuahan buatan dengan
sel sperma suami dan ovum dari isteri sendiri. Vatikan secara resmi tahun 1987
telah mengecam keras pembuahan buatan, bayi tabung, ibu titipan dan seleksi
jenis kelamin anak, karena dipandang tak bermoral dan bertentangan dengan
harkat manusia.
Mantan Ketua IDI, dr. Kartono
Muhammad juga pernah melemparkan masalah inseminasi buatan dan bayi tabung. Ia
menghimbau masyarakat Indonesia dapat memahami dan menerima bayi tabung dengan
syarat sel sperma dan ovumnya berasal dari suami-isteri sendiri.
Dengan demikian, mengenai
hukum inseminasi buatan dan bayi tabung pada manusia harus diklasifikasikan
persoalannya secara jelas. Bila dilakukan dengan sperma atau ovum suami isteri
sendiri, baik dengan cara mengambil sperma suami kemudian disuntikkan ke dalam
vagina, tuba palupi atau uterus isteri, maupun dengan cara pembuahannya di luar
rahim, kemudian buahnya (vertilized ovum) ditanam di dalam rahim istri; maka
hal ini dibolehkan, asal keadaan suami isteri tersebut benar-benar memerlukan
inseminasi buatan untuk membantu pasangan suami isteri tersebut memperoleh
keturunan. Hal ini sesuai dengan kaidah ‘al hajatu tanzilu manzilah al
dharurat’ (hajat atau kebutuhan yang sangat mendesak diperlakukan seperti
keadaan darurat).
Sebaliknya, kalau inseminasi
buatan itu dilakukan dengan bantuan donor sperma dan ovum, maka diharamkan dan
hukumnya sama dengan zina. Sebagai akibat hukumnya, anak hasil inseminasi itu
tidak sah dan nasabnya hanya berhubungan dengan ibu yang melahirkannya. Menurut
hemat penulis, dalil-dalil syar’i yang dapat dijadikan landasan menetapkan
hukum haram inseminasi buatan dengan donor ialah :
Pertama, firman Allah SWT dalam surat al-Isra : 70
dan At-Tin : 4. yang berbunyi :
ô‰s)s9ur
$oYøB§x.
ûÓÍ_t/
tPyŠ#uä
öNßg»oYù=uHxqur
’Îû
ÎhŽy9ø9$#
Ìóst7ø9$#ur
Nßg»oYø%y—u‘ur
šÆÏiB
ÏM»t7ÍhŠ©Ü9$#
óOßg»uZù=žÒsùur
4’n?tã
9ŽÏVŸ2
ô`£JÏiB
$oYø)n=yz
WxŠÅÒøÿs?
ÇÐÉÈ
ô‰s)s9
$uZø)n=y{
z`»|¡SM}$#
þ’Îû
Ç`|¡ômr&
5OƒÈqø)s?
ÇÍÈ
Kedua ayat tersebukti menunjukkan bahwa
manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk yang mempunyai
kelebihan/keistimewaan sehingga melebihi makhluk-makhluk Tuhan lainnya. Dan
Tuhan sendiri berkenan memuliakan manusia, maka sudah seharusnya manusia bisa
menghormati martabatnya sendiri serta menghormati martabat sesama manusia.
Dalam hal ini inseminasi buatan dengan donor itu pada hakikatnya dapat
merendahkan harkat manusia sejajar dengan tumbuh-tumbuhan dan hewan yang
diinseminasi.
Kedua, hadits Nabi Saw yang mengatakan, “Tidak halal
bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir menyiramkan airnya
(sperma) pada tanaman orang lain (istri orang lain).” (HR. Abu Daud, Tirmidzi
dan dipandang Shahih oleh Ibnu Hibban).
Berdasarkan hadits tersebut
para ulama sepakat mengharamkan seseorang melakukan hubungan seksual dengan
wanita hamil dari istri orang lain. Tetapi mereka berbeda pendapat apakah sah
atau tidak mengawini wanita hamil. Menurut Abu Hanifah boleh, asalkan tidak
melakukan senggama sebelum kandungannya lahir. Sedangkan Zufar tidak
membolehkan. Pada saat para imam mazhab masih hidup, masalah inseminasi buatan
belum timbul. Karena itu, kita tidak bisa memperoleh fatwa hukumnya dari
mereka.
Hadits ini juga dapat
dijadikan dalil untuk mengharamkan inseminasi buatan pada manusia dengan donor
sperma dan/atau ovum, karena kata maa’ dalam bahasa Arab bisa berarti air hujan
atau air secara umum, seperti dalam Thaha : 53. Juga bisa berarti benda cair
atau sperma seperti dalam An-Nur : 45 dan Al-Thariq : 6.
Dalil lain untuk syarat
kehalalan inseminasi buatan bagi manusia harus berasal dari sperma dan ovum
pasangan yang sah menurut syariah adalah kaidah hukum fiqih yang mengatakan
“dar’ul mafsadah muqaddam ‘ala jalbil mashlahah” (menghindari mafsadah atau
mudharat) harus didahulukan dari pada mencari atau menarik maslahah/kebaikan.
Sebagaimana kita ketahui bahwa
inseminasi buatan pada manusia dengan donor sperma atau ovum lebih banyak
mendatangkan mudharat dari pada maslahah. Maslahah yang dibawa inseminasi
buatan ialah membantu suami-isteri yang mandul, baik keduanya maupun salah
satunya, untuk mendapatkan keturunan atau yang mengalami gangguan pembuahan
normal.
Namun mudharat dan mafsadahnya
jauh lebih besar, antara lain berupa:
1. Percampuran nasab, padahal Islam sangat
menjaga kesucian/kehormatan kelamin dan kemurnian nasab, karena nasab itu ada
kaitannya dengan kemahraman dan kewarisan.
2. Bertentangan dengan sunnatullah atau hukum
alam.
3. Inseminasi pada hakikatnya sama dengan
prostitusi, karena terjadi percampuran sperma pria dengan ovum wanita tanpa
perkawinan yang sah.
4. Kehadiran anak hasil inseminasi bisa
menjadi sumber konflik dalam rumah tanggal.
5. Anak hasil inseminasi lebih banyak unsur negatifnya
dari pada anak adopsi.
6. Bayi tabung lahir tanpa melalui proses
kasih sayang yang alami, terutama bagi bayi tabung lewat ibu titipan yang
menyerahkan bayinya kepada pasangan suami-isteri yang punya benihnya sesuai
dengan kontrak, tidak terjalin hubungan keibuan secara alami. (QS. Luqman : 14
dan Al-Ahqaf:14).
Adapun mengenai status anak hasil
inseminasi buatan dengan donor sperma atau ovum menurut hukum Islam adalah
tidak sah dan statusnya sama dengan anak hasil prostitusi atau hubungan
perzinaan. Dan kalau kita bandingkan dengan bunyi pasal 42 UU Perkawinan No. 1
tahun 1974, “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai
akibat perkawinan yang sah” maka tampaknya memberi pengertian bahwa anak hasil
inseminasi buatan dengan donor itu dapat dipandang sebagai anak yang sah.
Namun, kalau kita perhatikan
pasal dan ayat lain dalam UU Perkawinan ini, terlihat bagaimana peranan agama
yang cukup dominan dalam pengesahan sesuatu yang berkaitan dengan perkawinan.
Misalnya pasal 2 ayat 1 (sahnya perkawinan), pasal 8 (f) tentang larangan
perkawinan antara dua orang karena agama melarangnya, dll. lagi pula negara
kita tidak mengizinkan inseminasi buatan dengan donor sperma atau ovum, karena
tidak sesuai dengan konstitusi dan hukum yang berlaku.
Sedangkan hukum inseminasi
buatan pada hewan dan hasilnya sebagaimana yang sering orang lakukan juga harus
diddudukkan masalahnya. Pada umumnya, hewan baik yang hidup di darat, air dan
udara, adalah halal dimakan dan dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk
kesejahteraan hidupnya, kecuali beberapa jenis makanan/hewan yang dilarang
dengan jelas oleh agama.
Kehalalan hewan pada umumnya
dan hewan ternak pada khususnya adalah berdasarkan firman Allah dalam Surat
Al-Baqarah:29, yang menyatakan bahwa semua yang ada di planet bumi ini untuk
kesejahteraan manusia. Dan juga surat Al-Maidah:2, yang menyatakan bahwa semua
hewan ternak dihalalkan kecuali yang tersebut dalam Al-An’am:145, An-Nahl:115,
Al-Baqoroh:173 dan Al-Maidah:3. Ketiga surat dan ayat yang pertama tersebut
hanya mengharamkan 4 jenis makanan saja, yaitu bangkai, darah, babi dan hewan
yang disembelih tanpa menyebut nama Allah. Sedangkan surat dan ayat yang
disebut terakhir mengharamkan 10 jenis makanan, yaitu 4 macam makanan yang
tersebut di atas ditambah 6, yakni :
1. Hewan yang mati tercekik
2. Yang mati dipukul
3. Yang mati terjatuh
4. Yang mati ditanduk
5. Yang mati diterkam binatang buas, kecuali yang
sempat disembelih
6. Yang disembelih untuk disajikan pada
berhala.
C. Macam-macam Hewan yang Halal dan
Haram
Mengenai hewan yang halal dan yang haram,
terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama, yaitu :
A. Ulama yang hanya mengharamkan 10 macam
makanan/hewan yang tersebut dalam Al-Maidah:3, sebab ayat ini termasuk wahyu
terakhir yang turun. Mahmud Syaltut, mantan Rektor Universitas Al-Azhar
mendukung pendapat ini.
B. Ulama hadits menambah beberapa larangan
berdasarkan hadits Nabi, yaitu antara lain: semua binatang buas yang bertaring,
semua burung yang berkuku tajam, keledai peliharaan/jinak dan peranakan kuda
dengan keledai (bighal).
C. Ulama fiqih/mazhab menambah daftar
sejumlah hewan yang haram dimakan berdasarkan ijtihad, yaitu antara lain: semua
jenis anjing termasuk anjing hutan dan anjing laut, rubah, gajah,
musang/garangan, burung undan, rajawali, gagak, buaya, tawon, semua jenis ulat
dan serangga.
D. Rasyid Ridha, pengaran Tafsir Al-Manar
berpendapat bahwa yang tidak jelas halal/haramnya berdasarkan nash Al-Qur’an
itu ada dua macam :
1. Semua jenis hewan yang baik, bersih
dan enak/lezat (thayyib) adalah halal.
2. Semua hewan yang jelek, kotor dan
menjijikan adalah haram.
Namun kriteria baik, bersih, enak, menarik
atau kotor, jelek dan menjijikan tidak ada kesepakatan ulama di dalamnya.
Apakah tergantung selera dan watak masing-masing orang atau menurut ukuran yang
umum.
Mengembangbiakkan dan
pembibitan semua jenis hewan yang halal diperbolehkan oleh Islam, baik dengan
jalan inseminasi alami (natural insemination) maupun inseminasi buatan
(artificial insemination). Dasar hukum pembolehan inseminasi buatan ialah :
Pertama, Qiyas (analogi)
dengan kasus penyerbukan kurma. Setelah Nabi SAW hijrah ke Madinah, beliau
melihat penduduk Madinah melakukan pembuahan buatan (penyilangan/perkawinan)
pada pohon kurma. Lalu Nabi menyarankan agar tidak usah melakukan itu. kemudian
ternyata buahnya banyak yang rusak.
Setelah hal itu dilaporkan
pada Nabi, beliau berpesan : “lakukanlah pembuahan buatan, kalian lebih tahu
tentang urusan dunia kalian.” Oleh karena itu, kalau inseminasi buatan pada
tumbuh-tumbuhan diperbolehkan, kiranya inseminasi buatan pada hewan juga
dibenarkan, karena keduanya sama-sama diciptakan oleh Tuhan untuk kesejahteraan
umat manusia. (QS. Qaaf:9-11 dan An-Nahl:5-8).
Kedua, kaidah hukum fiqih
Islam “al-ashlu fil asya’ al-ibahah hatta yadulla dalil ‘ala tahrimihi” (pada
dasarnya segala sesuatu itu boleh, sampai ada dalil yang jelas melarangnya). Karena
tidak dijumpai ayat dan hadits yang secara eksplisit melarang inseminasi buatan
pada hewan, maka berarti hukumnya mubah.
Namun mengingat risalah Islam
tidak hanya mengajak umat manusia untuk beriman, beribadah dan bermuamalah di
masyarakat yang baik (berlaku ihsan) sesuai dengan tuntunan Islam, tetapi Islam
juga mengajak manusia untuk berakhlak yang baik terhadap Tuhan, sesama manusia
dan sesama makhluk termasuk hewan dan lingkungan hidup, maka patut dipersoalkan
dan direnungkan.
Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa mengembangbiakkan semua jenis
hewan yang halal (yang hidup di darat, air dan terbang bebas di udara)
diperbolehkan Islam, baik untuk dimakan maupun untuk kesejahteraan manusia.
Pengembangbiakan boleh dilakukan dengan inseminasi alami maupun dengan
inseminasi buatan. Inseminasi buatan pada hewan tersebut hendaknya dilakukan
dengan memperhatikan nilai moral Islami sebagaimana proses bayi tabung pada
manusia tetap harus menjunjung tinggi etika dan kaedah-kaedah syariah.
BAB II
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Masalah inseminasi buatan ini
menurut pandangan Islam termasuk masalah kontemporer ijtihadiah, karena tidak
terdapat hukumnya secara spesifik di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah bahkan dalam
kajian fiqih klasik sekalipun. Karena itu, kalau masalah ini hendak dikaji
menurut Hukum Islam, maka harus dikaji dengan memakai metode ijtihad yang
lazimnya dipakai oleh para ahli ijtihad (mujtahidin), agar dapat ditemukan
hukumnya yang sesuai dengan prinsip dan jiwa Al-Qur’an dan As-Sunnah yang
merupakan sumber pokok hukum Islam.
Namun, kajian masalah
inseminasi buatan ini seyogyanya menggunakan pendekatan multi disipliner oleh
para ulama dan cendikiawan muslim dari berbagai disiplin ilmu yang relevan,
agar dapat diperoleh kesimpulan hukum yang benar-benar proporsional dan
mendasar. Misalnya ahli kedokteran, peternakan, biologi, hukum, agama dan
etika.
DAFTAR
PUSTAKA
DR. Muhammad Ali Bar, At Talqih As Sina'i wa
Athfal Al Anabib dalam Majalah al-Majma'
al-Fiqh al- Islami, edisi 2 : 1/ 269
Dr. Arthur Leonard Caplan, Direktur Center
for Bioethics dan Guru Besar Bioethics
di University of Pennsylvania
Hukmu Asy Syar’i fi Al
Istinsakh, Naqlul A’dlaa’, Al Ijhadl, Athfaalul Anabib, Ajhizatul In’asy Ath Thibbiyah, Al Hayah wal Maut
No comments:
Post a Comment